A.
Latar
Belakang
Kesulitan
belajar merupakan bidang yang sangat luas, dan sangat kompleks untuk
dipelajari, karena menyangkut sekurang-kurangnya aspek psikologis, neurologis,
pendidikan dan aspek kehidupan sosial anak dalam keluarga atau masyarakat.
Setiap disiplin ilmu memiliki cara pandang yang berbeda dalam memahami dan
menjelaskan fenomena kesulitan belajar yang dialami oleh seorang anak.
Ilmu pendidikan
berpendirian bahwa semua anak memiliki perbedaan dalam perkembangan yang
dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi ilmu
pendidikan juga berpendirian bahwa meskipun setiap anak mempunyai perbedaan-perbedaan,
mereka tetap sama yaitu sebagai seorang anak. Oleh karena itu jika kita
berhadapan dengan seorang arang anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah
seorang anak, bukan label kesulitannya semata-mata yang dilihat. Dengan kata
lain pendidikan melihat anak dari sudut pandang yang positif, dan selalu
melihat adanya harapan bahwa anak akan dapat berkembang secara optimal sesuai
dengan potensi yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong
para pendidik untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.
Pendidikan
memposisikan anak sebagai pusat aktivitas dalam pembelajaran. Ketika
pembelajaran dilakukan maka pertimbangan pertama yang diperhitungkan adalah apa
yang menjadi hambatan belajar dan kebuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui
maka aktivitas pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh
seorang anak, bukan pada apa yang diingikan oleh orang lain. Pendirian seperti
itu menganggap bahwa fungsi pendidikan antara lain memfasilitasi agar anak
berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang
dimilikinya.
Menurut para ahli pendidikan, setiap anak mengalami
kesulitan belajar, akan menunjukkan fenomena yang beragam (heterogen), seperti
hasil belajar yang dicapai oleh para peserta didik dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yakni faktor yang terdapat dalam diri peserta didik itu sendiri yang
disebut faktor internal, serta faktor yang didapat diluar diri peserta didik
yang disebut dengan faktor eksternal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian kesulitan belajar?
2.
Bagaimana memahami kesulitan belajar anak?
3.
Apa sajakah
faktor-faktor kesulitan belajar?
4.
Apa sajakah jenis-jenis
kesulitan belajar?
5.
Bagaimana
karakteristik kesulitan belajar?
6.
Bagaimana gejala-gejala kesulitan belajar?
7.
Bagaimana mengatasi kesulitan belajar?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian dari kesulitan belajar.
2.
Memahami kesulitan belajar dari seorang anak.
3.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan
belajar.
4.
Mengetahui jenis-jenis kesulitan belajar.
5.
Memahami karakteristik dari anak yang mengalami kesulitan
belajar.
6.
Memahami gejala-gejala dari kesulitan belajar.
7.
Memahami cara-cara untuk mengatasi kesulitan belajar.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kesulitan Belajar
1. Menurut
National Institute of Health, USA kesulitan belajar adalah hambatan/ gangguan
belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang
signifikan antara taraf intelegensia dan kemampuan akademik yang seharusnya
dicapai. Bahwa kesulitan belajar kemungkinan disebabkan oleh gangguan di dalam
saraf pusat otak (gangguan neurobiologis) yang dapat menimbulkan gangguan
perkembangan seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman
dan berhitung.
2.
Kesulitan belajar adalah kondisi dimana anak dengan
kemampuan intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun memiliki
ketidakmampuan atau kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan
dalam proses persepsi, konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan
perhatian, penguasaan diri, dan fungsi integrasi sensorik motorik (Clement, dalam Weiner, 2003). Berdasarkan
pandangan Clement tersebut maka pengertian kesulitan belajar adalah kondisi
yang merupakan sindrom multidimensional yang bermanifestasi sebagai kesulitan
belajar spesifik (spesific learning
disabilities), hiperaktivitas dan/atau distraktibilitas dan masalah
emosional.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesulitan
belajar adalah suatu kesulitan yang berdampak serius pada kemampuan anak didik
dalam menerima pelajarannya. Kesulitan belajar tersebut berasal dari dalam diri
(internal) dan dari luar (eksternal) anak didik. Yang terpenting dari hal ini
adalah bagaimana guru, orang tua, dan masyarakat sekitar untuk dapat
mengatasinya. Dengan demikian untuk perlu kiranya untuk mengetahui
faktor-faktor apa yang melatarbelakangi sehingga kesulitan ini terjadi.
Sehingga dengan pengetahuan yang ada guru, orang tua, dan masyarakat dapat
mengambil tindakan yang efektif.
B.
Memahami
Kesulitan Belajar Seorang Anak
1.
Kesulitan Belajar Internal
Kesulitan
belajar yang bersifat internal berkaitan dengan kelainan sentral pada fungsi
otak. Disiplin ilmu pendidikan tidak mempunyai kompentensi untuk menjelaskan
bagaimana kelainan
fungsi otak terjadi. Hal yang penting untuk dipahami adalah fenomena-fenomena
apa yang muncul dan berhubungan langsung dengan aktivitas belajar sorang anak.
Ketika seorang
anak belajar memerlukan kemampuan dalam persepsi (perception), baik pendengaran,
penglihatan, aktual dan kinestetik, kemampuan mengingat (memory), proses
kognitf (cognitive process) dan perhatian (attention).
Kemampuan-kemampuan tersebut bersifat internal di dalam otak. Proses belajar
akan mengalami hambatan/kesulitan apabila kemampuan-kemampuan tersebut
mengalami gangguan. Apabila ada seorang anak yang mengalami kesulitan pada
keempat aspek seperti itu ada kemungkinan anak tersebut mengalami kesulitan
belajar yang bersifat internal.
2. Kesulitan Belajar Eksternal
Kesulitan
belajar yang bersifat eksternal (learning problem), sangat terkait
dengan dua situasi. Pertama, situasi di luar dan sebelum sekolah, serta kedua
terkait dengan situasi di sekolah.
a.
Situasi di Luar dan Sebelum Sekolah
Aktivitas anak
di rumah berpengaruh terhadap perkembangannya. Apabila lingkungan rumah memberi
peluang yang cukup bagi seorang anak untuk mendapatkan pengalaman belajar
seperti mendengarkan orang tuanya membacakan dongeng, terbiasa menjawab
pertanyaan dari ceritera yang telah didengarnya, mulai mengenal buku,
dibiasakan untuk mengemukakan secara lisan apa yang diinginkan kepada orang
tuanya, dan ada kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan, sehingga
memungkinkan seorang anak memiliki keteampilan pra-akademik.
Keterampilan
pra-akademik merupakan prasyarat untuk belajar secara akademik. Keteramilan
anak dalam mendengarkan misalnya merupakan prasyarat untuk belajar membaca.
Anak yang memiliki keterampilan mendengarkan dengan baik, tidak akan mengalami
kesulitan dalam belajar membaca. Sebaliknya anak yang tidak memilki
keterampilan mendengarkan dengan baik, akan mengalami hambatan ketika belajar
membaca. Anak yang memiliki keterampilan pra-akademik akan lebih cepat dalam
belajar secara akademik di sekolah dasar, dan cenderung memiliki rasa pecaya
diri dan motivasi yang lebih baik dibanding dengan yang tidak (Solyster, 2004).
Sering ditemukan
anak yang mengalami masalah dalam belajardi Sekolah Dasar terkait dengan tidak
dikuasainya keterampilan pra-akademik. Tidak jarang anak seperti ini memiliki
penghargaan diri yang rendah, dan memiliki perasaan bahwa sekolah bukan tempat
yang menyenangkan. Akibat yang mungkin muncul adalah anak mengalami kesulitan
dalam perilaku.
b.
Situasi di
Sekolah
Proses belajar
di sekolah terkait dengan elemen kurikulum, dan metode pembelajaran.
Sekolah-sekolah kita pada umumnya sangat kuat perpatokan pada pencapaian target
kurikulum dengan muatan yang sangat banyak. Oleh karena itu, ada kecenderungan
bagi guru untuk selalu mengukur keberhasilan program pembelajaran itu dilihat
dari tercapainya target kurikulum. Namun ada kenyataan lain, yang hampir luput
dari perhatian guru yaitu kurangnya kesempatan untuk mengecek apakah setiap
anak sudah sampai pada tingkat pemahaman konsep. Data inilah yang tidak banyak
diketahui oleh guru, sehingga jika ada anak yang ternyata belum tuntas dalam
memahami satu konsep pada topik tertentu sementara pembelajaran terus melangkah
ke topik berikutnya yang lebih tinggi, maka sudah dapat dipastikan anak akan
mengalami kesulitan untuk memahami topik yang baru itu.
Apabila situasi
seperti ini berlangsung terus menerus, maka akan ada anak yang mengalami
kesulitan yang bersifat kumulatif. Hal seperti ini sering terjadi pada
pelajaran matematika dan bahasa. Sebagai contoh, seorang anak kelas satu
Sekolah Dasar belum tuntas dalam memahami konsep bilangan, pada saat itu guru
sudah melangkah ke topik tentang penjumlahan, maka sudah dapat dipastikan akan
mengalami kesuliatan dalam penjumlahan. Jika konsep penjumlahan belum dikuasai
tetapi pembelajaran sudah melangkah ke topik tentang pengurangan, demikian
seterusnya. Anak tidak pernah memahami konsep dengan tuntas. Masalah belajar
seperti inisangat banyak ditemukan di sekolah-sekolah kita.
C.
Faktor-faktor
Kesulitan Belajar
1. Faktor
Internal Siswa
a. Yang
bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi
siswa.
b. Yang
bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti lebihnya emosi dan sikap.
c. Yang
bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat indera
penglihat dan pendengar.
2. Faktor
Eksternal Siswa
a. Lingkungan
keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan
rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
b. Lingkungan
masyarakat, contohnya: teman sepermainan yang nakal.
c. Lingkungan
sekolah, contohnya: kondisi sekolah yang dirasa tidak nyaman termasuk kondisi
guru,kondisi gedung yang buruk, serta alat-alat belajar yang berkualitas
rendah.
Selain
faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga
menimbulakan kesulitan belajar siswa. Di antara faktor-faktor yang dapat dipandang
sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Menurut Reber,
sindrom yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya
keabnormalan psikis yang menimbulkan kesulitan belajar, yaitu:
a. Disleksia,
yakni ketidakmampuan belajar membaca.
b. Disgrafia,
yakni ketidakmampuan belajar menulis.
c. Diskalkulia,
yakni ketidakmampuan belajar matematika/ berhitung.
Menurut Stenberg, kesulitan belajar juga dapat
disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
a. Stroke
yang terjadi akibat aliran darah ke otak mengalami hambatan.
b. Tumor
otak yg dapat mempengaruhi fungsi kognitif.
c. Luka
pada kepala akibat kecelakaan kendaraan.
Lebih
luas Ahmadi menyebutkan faktor-faktor penyebab kesulitan ke dalam dua golongan,
yaitu:
a.
Faktor intern
(dari dalam anak itu sendiri) meliputi:
1. Faktor
fisiologi.
2. Faktor
psikologis.
b.
Faktor ekstern
(dari luar anak) meliputi:
1. Faktor-faktor
sosial.
2. Faktor-faktor
non sosial.
D.
Jenis-jenis
Kesulitan belajar
Jenis kesulitan belajar ini dapat
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut: Dilihat dari jenis
kesulitan belajar: ada yang berat ada yang sedang. Dilihat dari bidang studi
yang dipelajari: ada yang sebagian bidang studi yang dipelajari, dan ada
yang keseluruhan bidang studi. Dilihat dari sifat kesulitannya: ada yang
sifatnya permanen / menetap, dan ada yang sifatnya hanya sementara. Dilihat
dari segi factor penyebabnya: ada yang Karena factor intelligensi, dan ada yang
karena factor bukan intelligensi.Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita
dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa
yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa
mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru
dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat
psikologis, sosiologis, maupun fisiologis.Menurut Sudrajat,
kesulitan belajar siswa mencakup berbagai jenis yang luas yakni sebagai
berikut:
a.
Kekacauan
belajar (Learning Disorder)
Keadaan dimana proses belajar seserang terganggu
karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami
kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya
terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan,
sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang
dimilikinya. Contoh: siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti
karate, tinju, dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar
menari.
b.
Learning
Disfunction
Merupakan gejala dimana proses belajar yang
dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut
tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indra, atau
gangguan psikologis lainnya. Contoh: siswa yang memiliki tubuh tinggi atletis
sangat cocok menjadi atlet bola basket, namun karena tidak pernah dilatih
bermain bola basket, maka dia tidak menguasai permainan bola basket dengan
baik.
c.
Under Achiever
Mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki
tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi
belajarnya tergolong rendah. Contoh: siswa yang telah dites kecerdasannya dan
menunjukkan tingkat kecerdasan yang sangat unggul (IQ = 130-140) namun prestasi
belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
d.
Lambat belajar
(Slow Learner)
Siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang
memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
e.
Ketidakmampuan
belajar (Learning Disabilities)
Mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar
atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi
intelektualnya.
E.
Karakteristik
Kesulitan Belajar
1.
Sejarah kegagalan akademik
berulang kali Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi
berulang-ulang. Tampaknya memantapkan harapan untuk gagal sehingga melemahkan
usaha.
2.
Hambatan fisik/tubuh atau
lingkungan berinteraksi dengan kesulitan belajar
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik awal.
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas atau pendengaran yang terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar yang jauh di luar jangkauan kesulitan fisik awal.
3.
Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak adanya
reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung merendahkan mutu
tindakan, mengurangi minat untuk belajar, dan umumnya merendahkan motivasi atau
memindahkan motivasi ke kegiatan lain.
4.
Kecemasan yang samar-samar,
mirip kecemasan yang mengambang Kegagalan yang berulang kali, yang
mengembangkan harapan akan gagal dalam bidang akademik dapat menular ke
bidang-bidang pengalaman lain. Adanya antisipasi terhadap kegagalan yang segera
datang, yang tidak pasti dalam hal apa, menimbulkan kegelisahan,
ketidaknyamanan, dan semacam keinginan untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam
bentuk melamun atau tidak memperhatikan.
5.
Perilaku berubah-ubah,
dalam arti tidak konsisten dan tidak terduga Rapor hasil belajar anak dengan
kesulitan belajar cenderung tidak konstan. Tidak jarang perbedaan angkanya
menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini disebabkan karena naik turunnya
minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran. Ketidakstabilan dan perubahan
yang tidak dapat diduga ini lebih merupakan isyarat penting dari rendahnya
prestasi itu sendiri.
6.
Penilaian yang keliru
karena data tidak lengkap Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label
kepada seorang anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Misalnya tanpa
data yang lengkap seorang anak digolongkan keterbelakangan mental tetapi
terlihat perilaku akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang
keterbelakangan mental.
7.
Pendidikan dan pola asuh
yang didapat tidak memadai Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan
urutan pengalaman belajarnya tidak mendukung proses belajar. Kadang-kadang
kesalahan tidak terdapat pada sistem pendidikan itu sendiri, tetapi pada
ketidakcocokan antara kegiatan kelas dengan kebutuhan anak. Kadang-kadang
pengalaman yang didapat dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar .
F.
Gejala-gejala
Kesulitan Belajar
Siswa sering mengalami gejala-gejala yang tidak
mestinya dan di luar kebiasaan. Dalam hal ini biasanya guru atau orang tua
menganggap siswa tersebut malas atau bodoh dan tidak dipedulikan bahkan
diasingkan. Keadaan ini tidak akan menyelesaikan masalah bahkan akan menambah
parah masalah yang muncul. Oleh karena itu, guru perlu mendeteksi gejala-gejala
yang ada untuk dapat memberikan solusi.
Menurut Sudrajat, kesulitan belajar dapat
dimanifestasikan pada perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, maupun
afektif. Beberapa perilaku yang manifestasi dari gejala-gejala kesulitan
belajar, antara lain:
1.
Menunjukkan
hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang telah dicapai
kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2.
Lambat dalam
melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya.
3.
Menunjukkan
sikap-sikap yang tidak wajar, seperti acuh tak acuh terhadap tugas yang
diberikan.
4.
Menunjukkan
gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemarah, mudah tersinggung, dan
sejenisnya.
5.
Hasil yang
dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa
yang telah berusaha dengan giat, namun hasilnya selalu rendah.
6.
Menunjukkan
perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak
mengerjakan tugas, mengganggu di dalam ataupun di luar kelas, tidak teratur
dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton mengidentifikasi siswa yang
diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan
siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut Burton bahwa siswa
dikatakan gagal dalam belajar apabila:
1.
Dalam batas
waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan
atau tingkat penguasaan materi (mastery
level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan guru (criterion reference).
2.
Tidak dapat
mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran
tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat
digolongkan sebagai under archiever.
3.
Tidak berhasil
tingkat penguasaan materi yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan
tingkat pelajaran berikutnya.
Dalam situs yang dikeluarkan oleh Learning Disabilities Association of America
menyebutkan bahwa gejala-gejala yang sering timbul bagi anak dengan
kesulitan belajar bervariasi dan tergantung pada usia anak, seperti berikut:
a. Pada
usia pra-sekolah.
b. Pada
usia sekolah.
c. Pada
usia remaja dan dewasa.
G.
Cara Mengatasi Kesulitan Belajar
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat
ditempuh guru, seperti proses Weener dan Senf sebagaimana yang dikutip Syah
sebagai berikut:
1. Melakukan
observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti
pelajaran.
2. Memeriksa
penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan
belajar.
3. Mewawancarai
orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin
menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memeriksa
tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan
belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan
tes kemampuan intelegensia (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami
kesulitan belajar.
Secara umum, langkah-langkah di atas dapat dilakukan
dengan mudah oleh guru (kecuali no. 5 tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru
harus berhubungan langsung dengan klinik psikologi.
Banyak alternatif yang dapat dilakukan oleh guru
untuk mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan
tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan
beberapa langkah penting sebagaimana yang dikemukakan Syah (2000:175) sebagai
berikut:
1.
Menganalisa
hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antarbagian
tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang
dihadapi siswa.
2.
Mengidentifikasi
dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan.
3.
Menyusun program
perbaikan, khususnya program remedial
teaching (pengajaran perbaikan).
4.
Melaksanakan
program perbaikan.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada dasarnya anak memiliki kemampuan, walaupun
kemampuan yang dimiliki berbeda satu dengan yang lainnya. Pada tingkat
pendidikan dasar kemampuan tersebut masih memiliki relasi yang kuat, membaca,
menulis, serta berhitung. Masalah yang mungkin ada pada salah satu kemampuan
tersebut dapat mengganggu kemampuan yang lain.
Dengan demikian, apa yang sering dilakukan baik sebagai orang tua
ataupun seorang guru dengan mengatakan seorang anak yang mendapatkan nilai yang
rendah merupakan anak yang bodoh dan gagal perlu menjadi perhatian. Sebab, sebagaimana
diketahui bahwa mungkin saja anak hanya mengalami gangguan pada salah satu
kemampuan tadi, dan ia tidak tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.
Untuk itu, yang terpenting adalah dapat menelaah
dengan baik perkembangan anak. Diagnosis terhadap permasalahan sesungguhnya
yang dialami anak mutlak harus dilakukan. Dengan demikian kita akan mengetahui
kesulitan belajar apa yang dialami anak, sehingga kita dapat menentukan
alternatif pilihan bantuan bagaimana mengatasi kesulitan belajar tersebut.
B.
Saran
Saran yang dapat diberikan penulis untuk para guru
dan orang tua yang memiliki permasalahan mengenai kesulitan belajar yakni
sebagai berikut:
1.
Guru harus
memiliki pengetahuan mengenai apa yang dimaksud sebagai kesulitan belajar yang
dihadapi peserta didiknya baik mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya,
gejala-gejala awal, maupun cara untuk mengatasi kesulitan belajar tersebut.
2.
Orang tua jangan
dengan mudahnya menganggap anaknya bodoh ataupun malas. Seharusnya orang tua
harus melihat permasalahan yang mungkin dialami oleh anaknya baik di sekolah
ataupun dari faktor lingkungan. Sehingga, anak mau untuk berkembang dengan
diberikan bimbingan yang baik dari orang tua untuk mengatasi kesulitan belajar
yang dihadapi.
DAFTAR
PUSTAKA
Syah,
Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Sternberg,
Robert, Penerjemah Yudi Santoso. 2008. Psikologi
Kognitif, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Syamsuddin,
Abin. 2003. Psikologi Pendidikan,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
bd