Wednesday, December 11, 2013

Makalah kelompok " FILSAFAT DAN KEMASLAHATAN UMAT"


Kata pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya  kepada kita. sehingga, berkah karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul  “ Filsafat dalam Perspektif Kemaslahatan Hidup Insani. ”
Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam makalah ini. dan tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Drs. FX Mas Subagio yang telah membimbing kami.
Penulis menyadari betul bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karenan itu, dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.







Surabaya, 02 September 2013


Penulis








Daftar isi

Kata pengantar
Daftar isi
Bab l                pendahuluan

A.    Latar belakang

Bab ll               pembahasan
A.    Pengertian filsafat
B.     Filsafat sebagai pandangan hidup
C.     Filsafat berakar pada eksistensi manusia
D.    Filsafat dalam kemaslahatan hidup insani
Bab lll              penutup
                        Kesimpulan
Daftar pustaka

















BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar belakang
Sejauh mana relevansi filsafat dengan kehidupan sehari-hari yang kita jalani ?  Apakah filsafat mempunyai manfaat dan implikasi praktis dalam kehidupan konkrit kita ?Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di muka, perlu kiranya diungkap munculnya filsafat dalam sejarah peradaban manusia.  Secara historis filsafat lahir dari refleksi kritis terhadap kehidupan konkrit keseharian untuk menangkap makna-makna tersembunyi di balik berbagai fenomena.   Menjalani kehidupan tanpa mengerti apakah kehidupan itu dan mengapa kita mesti hidup merupakan kehidupan yang tak layak dan tak bernilai.   Bertindak menurut dorongan naluriah semata tanpa kesadaran dan pemahaman merupakan tindakan  yang sulit dipertanggungjawabkan secara rasional dan kaidah kemanusiaan.  Menikmati keindahan gegap gempitanya alam raya yang terbentang luas tanpa mencoba menangkap hikmah dari keteraturan dan keindahan alam itu bukan merupakan pandangan khas manusia.Filsafat merenungkan dan mempertanyakan hal itu semua, mulai tentang hakekat hidup, tujuan hidup, tindakan khas manusiawi (perbuatan akhlaqi), dan fenomena-fenomena alam semesta.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian filsafat
Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki pandangan kata philoshopia (latin) philosophy (inggris), philosophic (Belanda, Jerman,Prancis ), falsafah (Arab). Semua istilah itu bersumber dari istilah bahasa yunani philosophia. Istilah tersebut berarti Philein yang berarti mencintai. Sedangkan philos yang berarti teman, istilah shopos yang berarti bijaksana dan shopia yang berarti kebijaksanaan.
Menurut sejarah, phythagoras (572-497 SM) adalah orang pertama kali memakai kata philosophia.. ketika beliau ditanya apakah beliau seorang yang bijaksana, maka pitaghoras dengan merendah menyedut dirinya sebagai philosophos. Yaitu pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Banyak sumber yang menegaskan bahwa shopia mengandung arti yang lebih luas daripada kebijaksanaan. Artinya ada berbagai macam, antara lain : (1) kerajinan, (2) kebenaran pertama, (3)pengetahuan, (4) kebajikan intelektual, (5) pertimbangan yang sehat, (6) kecerdikan dalam memutuskan hal- hal yang praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental excellen).
Dilihat dari pengetian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Bersifat artinya berpikir. Namun, tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh- sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa: setiap manusia adalah filusuf. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berfikir. Akan tetapi, secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berfikir adalah filusuf. Filusuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh- sungguh dan mendalam.

Tegasnya filsafat adalah hasil akan semua manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam dalamnya. Dengan kata lain : filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh- sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.


B.   Filsafat sebagai pandangan hidup
Diartikan sebagai pandangan hidup karena filsafat pada hakikatnya bersumber pada hakikat kodrat pribadi manusia (sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan). Hal ini berarti bahwa filsafat mendasarkan pada penjelmaan manusia secara total dan sentral sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk monodualisme (manusia secara kodrat terdiri dari jiwa dan raga). Manusai secara total (menyeluruh) dan sentral didalamnya memuat sekaligus sebagai sumber penjelmaan bermacam-macam filsafat sebagai berikut :
  1. Manusia dengan unsur raganya dapat melahirkan filsafat biologi.
  2. Manusia dengan unsur rasanya dapat melahirkan filsafat keindahan (estetika).
  3. Manusia dengan monodualismenya (kesatuan jiwa dan raganya) melahirkan filsafat antropologi.
  4. Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dapat melahirkan filsafat ketuhanan.
  5. Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial dapat melahirkan filsafat sosial.
  6. Manusia sebagai makhluk yang berakal dapat melahirkan filsafat berpikir (logika).
  7. Manusia dengan unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk dapat melahirkan filsafat tingkah laku (etika).
  8. Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahirkan filsafat psikologi.
  9. Manusia dengan segala aspek kehidupannya dapat melahirkan filsafat nilai (aksologi).
  10. Manusia dengan dan sebagai warga Negara dapat melahirkan filsafat Negara.
  11. Manusia dengan unsur kepercayaannya terhadap spiritual dapat melahirkan filsafat agama.
Filsafat sebagai pandangan hidup (Weltsanchaung) merupakan suatu pandangan hidup yang dijadikan dasar setiap tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, juga dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupan. Pandangan hidupnya itu akan tercermin didalam sikap hidup dan cara hidup. Sikap dan cara hidup tersebut dapat muncul apabila manusia memikirkan dirinya sendiri secara total.



C.   Filsafat berakar pada eksistensi manusia
Ketika Nabi Adam diangkat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, para malaikat mempertanyakan, mengapa seorang manusia yang tercipta dari tanah memperoleh Amanat Ilahi yang begitu mulia.  Tuhan  menjawabnya dengan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Surat Al Baqarah ayat 30).  Lalu, Tuhan pun mengajarkan kepada Adam nama-nama (asma) seluruhnya dan menanyakan kepada para malaikat tentang nama-nama yang diketahui oleh Adam.  Karena para malaikat tidak mengetahuinya, maka Tuhan pun memerintahkan mereka untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai simbol pemuliaan kepada manusia, makhluk yang mengemban Amanat Tuhan sebagai khalifahNya. (baca Surat Al Baqarah ayat 31 – 33).
Dari kisah tersebut tersimpulkan bahwa pengangkatan manusia sebagai khalifah Tuhan disertai dengan pengajaran Tuhan tentang nama-nama; keduanya tidak dapat dipisahkan.  Apakah yang dimaksudkan dengan ‘nama-nama’ itu ?  Apakah maksudnya sekedar nama-nama benda di seluruh alam raya ini sebagaimana umumnya dipahami kebanyakan orang ? Ataukah lebih dalam daripada itu yang memang sesuai dan relevan dengan pengangkatan manusia sebagai khalifah Tuhan ?
Pengertian ‘nama-nama’ (asma) yang dimaksud adalah konsep-konsep, makna-makna.  Nama sebuah benda atau peristiwa hanyalah lambang dan simbol dari suatu makna.  Kata ‘AIR’ hanyalah simbol dari makna suatu zat cair yang memiliki sifat-sifat tertentu.  Pengertian ‘nama-nama’ sebagai konsep-konsep atau makna-makna akan lebih jelas bila dikenakan kepada kata-kata yang manusia ciptakan tanpa ada acuannya di dunia fisik.  Seperti kata-kata : kebebasan, keadilan, demokrasi, reformasi, cinta, kesadaran, aku, persahabatan, jiwa, malaikat, Tuhan, dan sebagainya.  Kata-kata abstrak seperti ini banyak sekali digunakan dalam bahasa ilmiah dan dalam kehidupan sehari-hari. 
Jadi, manusia pada dasarnya adalah makhluk konseptual, makhluk maknawi.  Konsep-konsep dan makna-makna memang telah melekat inheren dalam jati diri kiat sebagai manusia.  Berpikir, mencipta konsep, menemukan makna, dan merenungkan hikmak berbagai peristiwa kehidupan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari modus eksistensi manusia. 
Nah, oleh karena perenungan makna, refleksi dan pemikiran konseptual adalah kegiatan khas filsafat, maka hal itu menunjukkan bahwa filsafat telah hidup sejak Nabi Adam.  Sejarah pun memperkuat pernyataan tersebut.  Menurut Suhrawardi,  dirintis oleh Nabi Idris as yang dalam bahasa Yunani dikenal dengan Hermes, dan dalam bahasa Yahudi dikenal sebagai Enoch.  Dari Nabi Idris as, filsafat berkembang ke  dua belahan dunia, yaitu Yunani (Barat) dan Persia-India-Cina (Timur).
 Dengan demikian, filsafat sebenarnya berawal dari tradisi kenabian, baik yang lalu dikembangkan oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles di Yunani maupun yang dikembangkan Zoroaster, Lao Tze, Konfusius, Brahmana, Sidarta Gautama di Timur (Persia-India-Cina).
 Jadi, mengapa kita semua telah menganut suatu pandangan-hidup dan aliran filsafat tertentu terjawab sudah, yaitu karena hal itu berakar pada eksistensi kemanusiaan kita sendiri.  Dunia manusia,” kata Ernst Cassirer, “bukanlah dunia fakta, melainkan dunia makna.”  Keberadaan manusia di dunia ini  sangat terkait dengan sistem makna yang ia anut atau hayati tentang kehidupan, disadari atau tidak, dipelajari (secara formal) atau tidak. 



D.   Filsafat dalam kemaslahatan hidup insani
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis, dan melalui agama. Dalam paper kerja ini kami akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Dengan kata lain, konteks filsafat budaya sebagai ilmu tentang kahidupan manusia akan lebih disempitkan atau dibatasi pada kerangka berpikir pembentukan manusia yang lebih baik. Pembentukan manusia yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya dalam perspektif filsafat budaya, yakni hidup yang lebih bijaksana,  dan lebih kritis. Filsafat bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan manusia. Ketiga unsur pembentuk itu antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya; (2) manusia dalam hubungannya dengan hidup komunitas; dan (3) agama membantu manusia hidup dengan lebih baik.
Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat dan lebih mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain, agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik bagi penganutnya.
Ketiga unsur pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok berikut.
I. Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Telah dikatakan sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus,  maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif. Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.
Jadi, melalui pengetahuanlah manusia mempunyai hubungan dengan dirinya, dunia dan orang lain. Melalui pengetahuan benda-benda dimanisfestasikan dan orang-orang dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri dirnya. Melalui pengetahuan pula manusia bisa berada lebih tinggi, dan dapat membentuk hidupnya secara lebih baik. Dengan pengetahuan manusia dapat melalukan sesuatu atau membentuk kembali sesuatu yang rusak menjadi baik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui pengetahuan manusia dapat mengenal dirinya, orang lain dan dunia di sekitarnya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya dalam dunianya itu (dapat beradaptasi dengan dunianya).
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain. Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
Akan tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi. Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan kepada setiap individu (anggota persekutuan). Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan dalam diri setiap individu.
Dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik, maka pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah kehidupan komunitas dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik atau lebih bijaksana dan kritis?
Menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik. Dapat dikatakan demikian karena    pada dasarnya kodrat manusia adalah makhluk sosial. Itu berarti manusia selalu berada bersama dengan sesamanya atau orang lain. Ia tidak berada sendirian, melainkan selalu berada bersama dengan orang lain. Manusia selalu berada dengan orang lain dan membentuk suatu persekutuan yang disebut sebagai komunitas. Mereka membentuk hidup besama karena ada nilai yang ingin dicapai secara bersama. Nilai yang ingin dicapai adalah membentuk hidup secara lebih baik. Nilai hidup secara lebih baik itu dicapai lewat interaksi atau kerja sama setiap individu dalam komunitas. Selanjutnya, setelah mencapai nilai  yang diinginkan itu (membentuk hidup secara lebih baik), kemudian disosialisasikan kepada individu (anggota komunitas) dan selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi pegangan dalam dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat nilai yang ditemukan dalam kehidupan komunitas itu. Nilai itulah yang membentuk manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan kritis dalam hidup.
III. Agama membantu manusia hidup lebih baik
Arti budaya telah diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik, yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai pembentukan yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana dan lebih sempurna dalam dunia yang adalah dunianya. Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan penting. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya, terutama karena mengajarkan bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya. Dalam agama terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami sebagai kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam perspektif filsafat budaya adalah pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran agama.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari agama dalam kehidupannya. Maksudnya adalah bahwa agama menjadi sarana di mana manusia dapat memenuhi keinginannya untuk dapat hidup dengan lebih bijaksana. Dengan kata lain agama membantu manusia untuk dapat hidup lebih baik. Melalui agama manusia dapat menjadi bijaksana untuk mencapai realisasi dirinya yang lengkap sehingga menjadi suatu microcosmos yang sempurna dalam macrocosmos.
Setiap agama umumnya mengajarkan kepada para penganut atau pengikutnnya untuk hidup sebagai orang yang saleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan yang ilahi. Dengan demikian agama dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Agama membentuk manusia untuk menjadi lebih baik, lebih bijaksana dengan menanamkan nilai-nilai universal dalam diri manusia itu.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat budaya sebagai ilmu tentang kehidupan manusia dapat dimengerti secara lebih sempit dengan ide pembentukan manusia yang lebih baik. Dalam konteks atau kerangka pemikiran itu kelompok berusaha menjelaskan dengan mengungkapkan tiga unsur yang membentuk manusia menjadi lebih baik. Ketiga unsur tersebut antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri dan dunianya, (2) relasi manusia dalam kehidupan polis atau hidup sosial, dan (3) agama yang mengandung dan mengajarkan nilai-nilai universal yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia menjadi lebih baik.
Untuk unsur pertama dan kedua merupakan karakter konstitutif dari arti budaya untuk orang Yunani, yaitu penelitian dan realisasi yang manusia lakukan tentang dirinya sendiri, yakni tentang kodrat manusia yang benar. Pengetahuan manusia tentang dirinya dan dunianya sangat erat hubungannya dengan filsafat. Manusia tidak dapat mewujudkan diri tanpa melalui pengetahuan akan diri sendiri dan akan dunianya. Sementara relasi manusia dalam kehidupan sosial atau kehidupan polis sangat erat hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak dapat mewujudkan diri tanpa kehidupan dalam komunitas atau kehidupan polis,dan unsur ketiga dijelaskan dalam hubungan dengan diangkat kembali pengertian budaya sebagai pembentukan manusia dalam dunianya yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih baik (lebih bijaksana dan kritis) dalam dunianya. Pengertian ini diangkat kembali oleh renesans. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya dalam konteks ini. Karena agama mengandung mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, yang dapat mengarahkan dan membentuk manusia menjadi lebih baik.










Daftar pusaka
Asmara Achmadi. “Filsafat Umum”. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Bagus, Lorenz, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002).
Bakker, J. W. M., Filsafat Kebudayaan (sebuah pengantar), cet. ke-12 (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Montolalu, John, Filsafat Budaya (Catatan Kuliah Untuk Mahasiswa), (Pineleng: STF-SP, 2007).
Montolalu, John, Filsafat Ilmu (Catatan Kuliah Untuk Mahasiswa), (Pineleng: STF-SP, 2007).
Sumartana, Th., Ecce Homo, (Jakarta: Aurora, 1994)
Magnis-Suseno, Franz, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).




No comments:

Post a Comment