Kata pengantar
Puji syukur kami
ucapkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita. sehingga, berkah karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Filsafat dalam Perspektif Kemaslahatan
Hidup Insani. ”
Penulis tidak
lupa mengucapkan banyak terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam
makalah ini. dan tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing Drs. FX Mas Subagio yang telah membimbing kami.
Penulis
menyadari betul bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan
terwujud dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karenan itu, dengan segala kerendahan
hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya penulis
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Surabaya, 02 September 2013
Penulis
Daftar isi
Kata pengantar
Daftar isi
Bab l pendahuluan
Bab ll pembahasan
A. Pengertian
filsafat
B. Filsafat
sebagai pandangan hidup
C. Filsafat
berakar pada eksistensi manusia
D. Filsafat
dalam kemaslahatan hidup insani
Bab lll penutup
Kesimpulan
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Sejauh mana relevansi
filsafat dengan kehidupan sehari-hari yang kita jalani ? Apakah filsafat mempunyai manfaat dan
implikasi praktis dalam kehidupan konkrit kita ?Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di muka, perlu kiranya diungkap
munculnya filsafat dalam sejarah peradaban manusia. Secara historis filsafat lahir dari refleksi kritis
terhadap kehidupan konkrit keseharian untuk menangkap makna-makna tersembunyi
di balik berbagai fenomena. Menjalani
kehidupan tanpa mengerti apakah kehidupan itu dan mengapa kita mesti hidup
merupakan kehidupan yang tak layak dan tak bernilai. Bertindak menurut dorongan naluriah semata
tanpa kesadaran dan pemahaman merupakan tindakan yang sulit dipertanggungjawabkan secara
rasional dan kaidah kemanusiaan.
Menikmati keindahan gegap gempitanya alam raya yang terbentang luas
tanpa mencoba menangkap hikmah dari keteraturan dan keindahan alam itu bukan
merupakan pandangan khas manusia.Filsafat merenungkan dan mempertanyakan hal
itu semua, mulai tentang hakekat hidup, tujuan hidup, tindakan khas manusiawi
(perbuatan akhlaqi), dan fenomena-fenomena alam semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian filsafat
Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki pandangan kata
philoshopia (latin) philosophy (inggris), philosophic (Belanda, Jerman,Prancis
), falsafah (Arab). Semua istilah itu bersumber dari istilah bahasa yunani
philosophia. Istilah tersebut berarti Philein yang berarti mencintai. Sedangkan
philos yang berarti teman, istilah shopos yang berarti bijaksana dan shopia
yang berarti kebijaksanaan.
Menurut sejarah, phythagoras (572-497 SM) adalah orang
pertama kali memakai kata philosophia.. ketika beliau ditanya apakah beliau
seorang yang bijaksana, maka pitaghoras dengan merendah menyedut dirinya
sebagai philosophos. Yaitu pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Banyak
sumber yang menegaskan bahwa shopia mengandung arti yang lebih luas daripada
kebijaksanaan. Artinya ada berbagai macam, antara lain : (1) kerajinan, (2)
kebenaran pertama, (3)pengetahuan, (4) kebajikan intelektual, (5) pertimbangan
yang sehat, (6) kecerdikan dalam memutuskan hal- hal yang praktis. Dengan
demikian asal mula kata filsafat itu sangat umum, yang intinya adalah mencari
keutamaan mental (the pursuit of mental excellen).
Dilihat
dari pengetian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir.
Bersifat artinya berpikir. Namun, tidak semua berfikir berarti berfilsafat.
Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh- sungguh. Sebuah
semboyan mengatakan bahwa: setiap manusia adalah filusuf. Semboyan ini benar
juga, sebab semua manusia berfikir. Akan tetapi, secara umum semboyan itu tidak
benar, sebab tidak semua manusia yang berfikir adalah filusuf. Filusuf hanyalah
orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh- sungguh dan
mendalam.
Tegasnya
filsafat adalah hasil akan semua manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam dalamnya. Dengan kata lain : filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh- sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
B. Filsafat sebagai pandangan hidup
Diartikan
sebagai pandangan hidup karena filsafat pada hakikatnya bersumber pada hakikat
kodrat pribadi manusia (sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk
Tuhan). Hal ini berarti bahwa filsafat mendasarkan pada penjelmaan manusia
secara total dan sentral sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk
monodualisme (manusia secara kodrat terdiri dari jiwa dan raga). Manusai secara
total (menyeluruh) dan sentral didalamnya memuat sekaligus sebagai sumber
penjelmaan bermacam-macam filsafat sebagai berikut :
- Manusia dengan unsur raganya dapat melahirkan filsafat biologi.
- Manusia dengan unsur rasanya dapat melahirkan filsafat keindahan (estetika).
- Manusia dengan monodualismenya (kesatuan jiwa dan raganya) melahirkan filsafat antropologi.
- Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dapat melahirkan filsafat ketuhanan.
- Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial dapat melahirkan filsafat sosial.
- Manusia sebagai makhluk yang berakal dapat melahirkan filsafat berpikir (logika).
- Manusia dengan unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk dapat melahirkan filsafat tingkah laku (etika).
- Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahirkan filsafat psikologi.
- Manusia dengan segala aspek kehidupannya dapat melahirkan filsafat nilai (aksologi).
- Manusia dengan dan sebagai warga Negara dapat melahirkan filsafat Negara.
- Manusia dengan unsur kepercayaannya terhadap spiritual dapat melahirkan filsafat agama.
Filsafat
sebagai pandangan hidup (Weltsanchaung) merupakan suatu pandangan hidup yang
dijadikan dasar setiap tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari,
juga dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam
kehidupan. Pandangan hidupnya itu akan tercermin didalam sikap hidup dan cara
hidup. Sikap dan cara hidup tersebut dapat muncul apabila manusia memikirkan
dirinya sendiri secara total.
C. Filsafat berakar pada eksistensi manusia
Ketika Nabi Adam
diangkat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, para malaikat mempertanyakan,
mengapa seorang manusia yang tercipta dari tanah memperoleh Amanat Ilahi yang
begitu mulia. Tuhan menjawabnya dengan berfirman : “Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Surat Al Baqarah ayat
30). Lalu, Tuhan pun mengajarkan kepada
Adam nama-nama (asma) seluruhnya dan menanyakan kepada para malaikat
tentang nama-nama yang diketahui oleh Adam.
Karena para malaikat tidak mengetahuinya, maka Tuhan pun memerintahkan
mereka untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai simbol pemuliaan kepada manusia,
makhluk yang mengemban Amanat Tuhan sebagai khalifahNya. (baca Surat Al Baqarah
ayat 31 – 33).
Dari kisah tersebut
tersimpulkan bahwa pengangkatan manusia sebagai khalifah Tuhan disertai dengan
pengajaran Tuhan tentang nama-nama; keduanya tidak dapat dipisahkan. Apakah yang dimaksudkan dengan ‘nama-nama’
itu ? Apakah maksudnya sekedar nama-nama
benda di seluruh alam raya ini sebagaimana umumnya dipahami kebanyakan orang ?
Ataukah lebih dalam daripada itu yang memang sesuai dan relevan dengan
pengangkatan manusia sebagai khalifah Tuhan ?
Pengertian ‘nama-nama’
(asma) yang dimaksud adalah konsep-konsep, makna-makna. Nama sebuah benda atau peristiwa hanyalah lambang
dan simbol dari suatu makna. Kata ‘AIR’
hanyalah simbol dari makna suatu zat cair yang memiliki sifat-sifat
tertentu. Pengertian ‘nama-nama’ sebagai
konsep-konsep atau makna-makna akan lebih jelas bila dikenakan kepada kata-kata
yang manusia ciptakan tanpa ada acuannya di dunia fisik. Seperti kata-kata : kebebasan, keadilan,
demokrasi, reformasi, cinta, kesadaran, aku, persahabatan, jiwa, malaikat,
Tuhan, dan sebagainya. Kata-kata abstrak
seperti ini banyak sekali digunakan dalam bahasa ilmiah dan dalam kehidupan
sehari-hari.
Jadi, manusia pada
dasarnya adalah makhluk konseptual, makhluk maknawi. Konsep-konsep dan makna-makna memang telah
melekat inheren dalam jati diri kiat sebagai manusia. Berpikir, mencipta konsep, menemukan makna,
dan merenungkan hikmak berbagai peristiwa kehidupan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari modus eksistensi manusia.
Nah, oleh karena perenungan
makna, refleksi dan pemikiran konseptual adalah kegiatan khas filsafat, maka
hal itu menunjukkan bahwa filsafat telah hidup sejak Nabi Adam. Sejarah pun memperkuat pernyataan
tersebut. Menurut Suhrawardi, dirintis oleh
Nabi Idris as yang dalam bahasa Yunani dikenal dengan Hermes, dan dalam
bahasa Yahudi dikenal sebagai Enoch.
Dari Nabi Idris as, filsafat berkembang ke dua belahan dunia, yaitu Yunani (Barat) dan
Persia-India-Cina (Timur).
Dengan demikian, filsafat
sebenarnya berawal dari tradisi kenabian, baik yang lalu dikembangkan oleh
Socrates, Plato, dan Aristoteles di Yunani maupun yang dikembangkan Zoroaster,
Lao Tze, Konfusius, Brahmana, Sidarta Gautama di Timur (Persia-India-Cina).
Jadi, mengapa kita semua telah menganut suatu
pandangan-hidup dan aliran filsafat tertentu terjawab sudah, yaitu karena hal
itu berakar pada eksistensi kemanusiaan kita sendiri. “Dunia manusia,” kata Ernst Cassirer,
“bukanlah dunia fakta, melainkan dunia makna.” Keberadaan manusia di dunia ini sangat terkait dengan sistem makna yang ia
anut atau hayati tentang kehidupan, disadari atau tidak, dipelajari (secara
formal) atau tidak.
D. Filsafat dalam kemaslahatan hidup insani
Kehidupan
secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam
kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk
dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau
ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan
sosial atau polis, dan melalui agama. Dalam
paper kerja ini kami akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang
dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Dengan kata lain, konteks filsafat
budaya sebagai ilmu tentang kahidupan manusia akan lebih disempitkan atau
dibatasi pada kerangka berpikir pembentukan manusia yang lebih baik.
Pembentukan manusia yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya
manusia, tetapi dalam arti pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan
berbudaya dalam perspektif filsafat budaya, yakni hidup yang lebih
bijaksana, dan lebih kritis. Filsafat bukanlah ilmu positif seperti
fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu kritis yang otonom di luar
ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan manusia.
Ketiga unsur pembentuk itu antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri
sendiri dan lingkungannya; (2) manusia dalam hubungannya dengan hidup
komunitas; dan (3) agama membantu manusia hidup dengan lebih baik.
Pengetahuan
menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik.
Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan hidupnya.
Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui
secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya
menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok
megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat
oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia
tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal
dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam
dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan
pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki
tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara
cepat dan lebih mudah.
Manusia
ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan
dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu
sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan
mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana
dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan
orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan
polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang
turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup atas cara
yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur
lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia
dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain,
agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang
baik bagi penganutnya.
Ketiga
unsur pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan
dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok berikut.
I. Manusia mengetahui dirinya dan
dunianya
Telah
dikatakan sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan merupakan
salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk
hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar
dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai
pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang
dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan
tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan
kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan
merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya. Manusia
dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain yang
penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri
seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan
yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan
dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun,
pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks
karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa
sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi
dan intelektif. Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila
pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara,
pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu
memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak
ada lagi atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan
manusia. Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan
manusia yang lebih tinggi.
Lalu
bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat
membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya
berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya.
Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa
yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan
manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan
manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui
suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam. Pengetahuan
dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk mengarahkan
dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia mengetahui
dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini
tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya
untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.
Jadi,
melalui pengetahuanlah manusia mempunyai hubungan dengan dirinya, dunia dan
orang lain. Melalui pengetahuan benda-benda dimanisfestasikan dan orang-orang
dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri dirnya. Melalui pengetahuan pula
manusia bisa berada lebih tinggi, dan dapat membentuk hidupnya secara lebih
baik. Dengan pengetahuan manusia dapat melalukan sesuatu atau membentuk kembali
sesuatu yang rusak menjadi baik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Melalui pengetahuan manusia dapat mengenal dirinya, orang lain dan dunia di
sekitarnya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya dalam dunianya itu (dapat
beradaptasi dengan dunianya).
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara
umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan
manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang
diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan
cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain. Jadi, secara tidak
langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana
terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna
mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada
nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai kebaikan,
keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan
bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau
bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
Akan
tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas
kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi.
Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan
kepada setiap individu (anggota persekutuan). Selanjutnya, nilai-nilai itu
dijadikan oleh pegangan dalam diri setiap individu.
Dalam
hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik, maka
pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah kehidupan komunitas dapat
membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik atau lebih bijaksana dan
kritis?
Menjawab
pertanyaan di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan komunitas dapat
membentuk hidup manusia secara lebih baik. Dapat dikatakan demikian karena
pada dasarnya kodrat manusia adalah makhluk sosial. Itu
berarti manusia selalu berada bersama dengan sesamanya atau orang lain. Ia
tidak berada sendirian, melainkan selalu berada bersama dengan orang lain.
Manusia selalu berada dengan orang lain dan membentuk suatu persekutuan yang
disebut sebagai komunitas. Mereka membentuk hidup besama karena ada nilai yang
ingin dicapai secara bersama. Nilai yang ingin dicapai adalah membentuk
hidup secara lebih baik. Nilai hidup secara lebih baik itu dicapai
lewat interaksi atau kerja sama setiap individu dalam komunitas. Selanjutnya,
setelah mencapai nilai yang diinginkan itu (membentuk hidup secara
lebih baik), kemudian disosialisasikan kepada individu (anggota komunitas)
dan selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi pegangan dalam
dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui kehidupan komunitas
dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat nilai yang ditemukan
dalam kehidupan komunitas itu. Nilai itulah yang membentuk manusia menjadi
lebih baik, lebih bijaksana dan kritis dalam hidup.
III. Agama membantu manusia hidup
lebih baik
Arti
budaya telah diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik,
yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai
pembentukan yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana
dan lebih sempurna dalam dunia yang adalah dunianya. Dalam konteks ini, agama
mendapat tempat dan peranan penting. Agama dimengerti sebagai unsur integral
dari budaya, terutama karena mengajarkan bagaimana hidup dengan baik, hidup
dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya. Dalam agama terkandung
ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami sebagai
kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik.
Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam perspektif filsafat budaya adalah
pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran
agama.
Manusia
tidak dapat dilepaskan dari agama dalam kehidupannya. Maksudnya adalah bahwa
agama menjadi sarana di mana manusia dapat memenuhi keinginannya untuk dapat
hidup dengan lebih bijaksana. Dengan kata lain agama membantu manusia untuk dapat
hidup lebih baik. Melalui agama manusia dapat menjadi bijaksana untuk mencapai
realisasi dirinya yang lengkap sehingga menjadi suatu microcosmos yang
sempurna dalam macrocosmos.
Setiap
agama umumnya mengajarkan kepada para penganut atau pengikutnnya untuk hidup
sebagai orang yang saleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan yang ilahi.
Dengan demikian agama dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik.
Agama membentuk manusia untuk menjadi lebih baik, lebih bijaksana dengan
menanamkan nilai-nilai universal dalam diri manusia itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat
budaya sebagai ilmu tentang kehidupan manusia dapat dimengerti secara lebih
sempit dengan ide pembentukan manusia yang lebih baik. Dalam konteks
atau kerangka pemikiran itu kelompok berusaha menjelaskan dengan mengungkapkan
tiga unsur yang membentuk manusia menjadi lebih baik. Ketiga unsur tersebut
antara lain: (1) pengetahuan manusia tentang diri dan dunianya, (2) relasi
manusia dalam kehidupan polis atau hidup sosial, dan (3) agama yang mengandung
dan mengajarkan nilai-nilai universal yang dapat mengarahkan dan membentuk
manusia menjadi lebih baik.
Untuk
unsur pertama dan kedua merupakan karakter konstitutif dari arti budaya untuk
orang Yunani, yaitu penelitian dan realisasi yang manusia lakukan tentang
dirinya sendiri, yakni tentang kodrat manusia yang benar. Pengetahuan manusia
tentang dirinya dan dunianya sangat erat hubungannya dengan filsafat. Manusia
tidak dapat mewujudkan diri tanpa melalui pengetahuan akan diri sendiri dan
akan dunianya. Sementara relasi manusia dalam kehidupan sosial atau kehidupan
polis sangat erat hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak
dapat mewujudkan diri tanpa kehidupan dalam komunitas atau kehidupan polis,dan unsur
ketiga dijelaskan dalam hubungan dengan diangkat kembali pengertian budaya
sebagai pembentukan manusia dalam dunianya yang memperkenankan manusia hidup
atas cara yang lebih baik (lebih bijaksana dan kritis) dalam dunianya.
Pengertian ini diangkat kembali oleh renesans. Agama dimengerti sebagai unsur
integral dari budaya dalam konteks ini. Karena agama mengandung mengajarkan
hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, yang dapat mengarahkan dan membentuk
manusia menjadi lebih baik.
Daftar pusaka
Asmara Achmadi. “Filsafat Umum”.
Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Bagus, Lorenz, Kamus Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 2002).
Bakker, J. W. M., Filsafat
Kebudayaan (sebuah pengantar), cet. ke-12 (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
Montolalu, John, Filsafat Budaya
(Catatan Kuliah Untuk Mahasiswa), (Pineleng: STF-SP, 2007).
Montolalu, John, Filsafat Ilmu
(Catatan Kuliah Untuk Mahasiswa), (Pineleng: STF-SP, 2007).
Sumartana, Th., Ecce Homo,
(Jakarta: Aurora, 1994)
Magnis-Suseno, Franz, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
No comments:
Post a Comment